Minggu, 05 Juli 2009

JEMBATAN PONULELE


Jembatan palu 4 atau yang sering disebut jembatan ponulele merupakan sebuah jembatan yang terletak di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Jembatan ini diresmikan pada Mei 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jembatan ini membentang di atas Teluk Talise ini berada di kelurahan Besusu dan Lere, yang menghubungkan kecamatan Palu Timur dan Palu Barat. Jembatan kuning ini merupakan jembatan lengkung pertama di Indonesia dan ketiga di dunia setelah Jepang dan Perancis.

kini jembatan kembali dibenah. Semua lampu jembatan yang rusak diperbaiki dan diganti yang menelan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah. Kini, lampu Jembatan Palu IV kembali bersinar, menambah semakin indahnya pemandangan di malam hari di atas muara sungai Palu. Perbaikan lampu jembatan, sebenarnya tidak perlu terjadi bila oknum-oknum masyarakat kota Palu sadar pentingnya menjaga dan memelihara aset kota. Jembatan Palu IV kini telah menjadi icon keindahan kota Palu.

Bagi masyarakat yang bermukim di Palu, keberadaan Jembatan Palu IV mungkin dinilai biasa saja, mengingat dilintasi dan dilihat setiap hari. Tetapi, bagi mereka yang sesekali menginjakkan kaki di kota Palu, jembatan Palu IV adalah sebuah posisi yang menggambarkan Palu dalam matra tiga dimensi. Kota pegunungan, kota laut, dan juga kota lembah. Sangat jarang kota-kota lain di Indonesia seindah ini posisi ibukota provinsinya. Memang sangat disayangkan, sebab fasilitas umum yang kita miliki tidak dijaga dan tidak dirawat. Bahkan tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, justru cenderung melakukan pengrusakan.

Untuk keamanan aset kota yang juga sebagai objek wisata, pihak Polisi Pamong Praja harus diberi tugas secara bergantian, di samping polisi negara. Bagi mereka yang ketangkap tangan melakukan pengrusakan agar diproses secara hukum, terlepas mungkin akan ada masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri. Cara demikian tidak dibenarkan, walaupun dipahami bila akhirnya ada pelaku yang tertangkap tangan. Mereka, yang mestinya menjaga keindahan dan aset kotanya, justru harus menjadi pelaku tindak pidana pengrusakan. Sungguh sangat menyedihkan masih adanya oknum-oknum seperti itu.

Perbaikan lampu jembatan IV tidak harus terjadi. Bahkan dana sebesar itu dapat diperuntukkan untuk keperluan lain. Tetapi sayang, sebab Palu yang masih termasuk kota kecil masih ditengarai ada warganya yang tidak merasa memiliki. Mereka sangat tega melakukan pengrusakan di saat kehadiran Jembatan Palu IV mampu mengangkat citra pariwisata kota Palu. Sudah saatnya pihak Pemkot memperlihatkan kemampuannya dalam menjaga aset kota, khususnya lampu jembatan yang harganya tergolong mahal. Sat Pol PP yang selama ini terkesan hanya hebat dalam penggusuran pedagang kaki lima (K-5), saatnya dimaksimalkan dalam peran-peran pengamanan aset, termasuk dalam menjaga keamanan Jembatan Palu IV.

Kita berharap dengan adanya perbaikan tersebut, ke depan tidak ada lagi tangan-tangan jahil yang berpeluang melakukan perbuatan yang sangat memalukan. Seluruh warga Palu harus bangga dengan keberadaan Jembatan Palu IV sehingga sangat memprihatinkan bila aset semahal dan seindah itu masih dirusak oleh mereka yang tidak merasa sebagai warga masyarakat Kota Palu. Memerangi oknum yang melakukan perbuatan pengrusakan sarana umum, merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua. Bila akhirnya masih ada pengrusakan lampu Jembatan IV ke depan, maka ini menjadi indikator bila Pemkot tidak menyeriusi pengamanan dan penjagaan Jembatan Palu IV yang sama-sama kita banggakan. Bila perlu, sistem penjagaan secara shift harus diatur oleh pihak Pol PP demi keamanan dan keselamatan lampu Jembatan Palu IV.**


Selasa, 31 Maret 2009

CENTRAL SULAWESI ( SULAWESI TENGAH )


BUDAYA

Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap dipelihara dengan berbagai pengaruh modernisasi serta keyakinan.

Akibat pengaruh kedatangan kelompok etnis dalam mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula beberapa perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Hmmm… seperti misalnya nih… mereka yang tinggal di pantai bagian barat Kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Ataupun kedatangan masyarakat Sulawesi Selatan dulu, di daerah Banawa, Donggala pada zaman Raja Jayalangkara.( huuu,,. Wouuw. Masih duluuu banget!)

Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di daerah Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik special yang bermotif Bali, India, dan Jepang pun masih dapat ditemukan.

Sementara itu, masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adapt, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, contohnya ni… ya, ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan.

Rumah Tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut gampiri.

Rumah Gampiri

KESENIAN

Musik dan Tarian di Sulawesi Tengah bervariasi looh.. yaitu perpaduan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Musik tradisional memiliki Instrumen seperti suling, gong, dan bahkan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai ritual keagamaan. Dengan perkembangan yang ada bahkan sudah banyak lagu daerah Sulawesi Tengah yang tercipta, dengan perpaduan musik khas tersebut. Antara lain, nih ya..

  1. Palu Ngataku
  2. Posisani
  3. Nalentora Yaku
  4. Rikasolo nu eo
  5. Janji Rireme Nuvula
  6. Sinanggaroke
  7. Putri Balantak
  8. Kaili Kana Kutora
  9. Tope Gugu
  10. Doni Dole
  11. Ada Mpoboti
  12. Mosumomba
  13. Randa Ntovea
  14. Polo Haja
  15. Peulu Cinde
  16. Nipalaisi
  17. Pamonte
  18. Salandowa
  19. Kandea Ri Sulawesi
  20. Irama Dero

Tari masyarakat yang terkenal adalah dero yang bersala dari masyarakat Pamona, Kabupaten Poso dan masyarakat Kulawi, Kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran, tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan Jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II. Kalau dilihat dari kebiasaan masyarakat sekarang sih, dero ini banyak digunakan pada pesta kawinan, ulang tahun, atau kegiatan pelipur lara lainnya… Namun sebenarnya selain tarian dero yang sangat terkenal, masih banyak pula jenis tarian lainnya.. seperti misalnya Tarian Peulu Cinde sebagai tarian penyambutan tamu, Pamonte yang maknanya menggambarkan kegiatan panen masyarakat Sulawesi Tengah, selain ini masih banyak lagi tarian lainnya..

FLORA DAN FAUNA

Sulawesi Tengah memiliki flora dan fauna tersendiri. Binatang khas pulau ini adalah anoa yang mirip kerbau, babi rusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tersier, monyet tonkena Sulawesi, kuskus marsupial Sulawesi yang berwarna-warni yang merupakan varitas bintang berkantung, serta burung maleo yang bertelur pada pasir yang panas.

( Anoa )

( Babi Rusa )

(tersier)

Kuskus


( Burung Maleo )

Hutan Sulawesi juga memiliki ciri tersendiri, didominasi oleh kayu agates yang berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinang-pinangan (spesies rhododendron).

Adapun variasi flora dan fauna merupakan obyek penelitian dan pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna, telah ditetapkan taman nasional dan suaka alam seperti Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Tanjung Api (ini nih…. Indah bangeeet!!) dan terakhir adalah suaka Margasatwa di Bangkiriang.

DOMBU

Gunung Gawalise di bagian barat kota Palu, kabupaten Donggala, berpotensi sebagai obyek wisata alam dan budaya yang menarik. Gunung Gawalise berjarak ± 34 km dari Palu dan dapat ditempuh oleh kendaraan roda empat dalam kurun waktu ± 1 jam 30 menit. Di gunung Gawalise terdapat desa Dombu yang terletak di ketinggian dan berhawa sejuk. Desa lainnya adalah desa Matantimali, Desa Panasibaja, Desa Bolobia, dan Desa Rondingo.

Di Gunung Gawalise dapat dilakukan hiking/trekking dengan rute-rute Wayu-Taipanggabe-Dombu-Wiyapore-Rondingo-Kayumpia/Bolombia-Uemanje dalam waktu kurang dari seminggu…. Gimana asyik kan? Makanya Coba deh mengenal seluk beluk keindahan daerah kita. Yuuk!!

Sabtu, 21 Februari 2009

PULAU TOGIAN

Pulau Togian adalah salah satu kepulauan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tojo Unauna, kabupaten pecahan dari Poso yang baru terbentuk pada awal tahun 2004. Beberapa aksi wisata yang dapat dilakukan di Pulau Togian antara lain: Menyelam & Snorkelling (di Pulau Kadidiri); Memancing, serta menjelajah alam hutan yang ada di dalam hutan yang ada di Pulau Malenge, atau bisa mengunjungi gunung api Colo di Pulau Una-una.

Anda juga bisa mengunjungi pemukiman orang Bajo di Kabalutan. Dibentuk oleh aktivitas volkanis, pulau ini ditutupi oleh tumbuh-tumbuhan yang subur dan rimbun, serta dikelilingi oleh formasi bukit karang. Batu karang dan pantai menyediakan tempat bagi beberapa binatang laut untuk tinggal dan berkembang biak, seperti kura-kura hijau, dll. Lebih lanjut tentang pulau togian.

Bisa jadi kita lebih mengenal Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara, ketimbang Gugusan Kepulauan Togian, di Tojo Unauna, Sulawesi Tengah. Padahal, salah satu kawasan di Teluk Tomini ini lebih alami, indah dan asri. Terumbu karangnya begitu beragam, panorama alamnya sungguh memukau, dan rata-rata pantainya berpasir putih. Saatnya mengalihkan kunjungan wisata kita ke sana . Bisa diving, snorkeling, memancing ikan, lalu membakarnya sendiri atau sekadar menikmati mentari tenggelam dari tepian pantai.

“Kita sudah sampai di batas langit. Bau laut dan keindahan panoramanya begitu memukau.” Begitu Nudin Lasahido, seorang pemuda di Tojo Unauna menyatakan kekagumannya pada Kepulauan Togian. Betapa tidak dari jauh, gugusan pulau dengan dinding karang, hutan menghijau, pasir putih dan laut membiru langsung menumbuk mata kita. Tidak hanya itu, jajaran rumah-rumah To Bobongko dan Tau Bajo, dua suku laut di Kepulauan Togian terlihat menambah indah panorama. Rumah-rumah mereka berdiri di atas laut, di atas karang-karang dan di tepi pantai.

“Ini sepotong surga yang bisa kita temui di bumi.” Tambah Muhammad Ridwan, pemuda kelahiran Wakai, Tojo Unauna. Pemuda yang disapa Ridu itu, selalu membanggakan indahnya gugusan Kepulauan Togian. Ia juga membanggakan makanan khasnya, ikan bakar rica-rica. Ia juga menyatakan kekagumannya pada To Bobongko dan Tau Bajo, yang jago menyelam dan memanah ikan, serta masih memelihara kearifan tradisional dalam mengelola lingkungan dan laut mereka.

Jika punya banyak waktu, bolehlah berkelana ke pulau-pulau lain yang menawarkan keindahan sama. Ada pasir putih lembut, batu batu karang mencuat di antara perairan teluk yang tenang, serta sunset yang menyejukan mata dan hati.

MAW Brouwer, seorang budayawan dan penulis kelahiran Belanda, saking jatuh cintanya dengan Tanah Pasundan, Priyangan pernah menulis di awal 1970-an, “Tuhan pasti sambil tersenyum ketika ia menciptakan Tanah Priyangan.“ Kalau saja Brouwer sempat menyaksikan Togian, ia tentu akan menarik kembali kata-katanya.

“Kepulauan ini justru lebih indah daripada Bunaken di Sulawesi Utara,” kata Damsjik Ladjalani, Bupati Tojo Unauna. Hanya saja, imbuhnya, terkendala pada soal promosi. Bunaken sudah lebih maju dalam promosi, sehingga lebih banyak dikenal.
Saat saya berkunjung ke sana awal Maret lalu, kata-kata Bupati Damsjik memang terbukti. Togian lebih indah dari Bunaken, hanya saja kurang dipromosikan.

Togian Island, Tojo Unauna, Central Sulawesi, Indonesia

Kepulauan Togean yang memiliki hamparan terumbu karang terluas di Indonesia (sekitar 132.000 hektar) dikenal juga memiliki banyak spot penyelaman menakjubkan.

Togian sendiri sudah ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.418/Menhut-II/2004 tertanggal 19 Oktober 2004. Luasnya sekitar 362.605 hektare. Itu sudah termasuk 10.659 hektare hutan lindung buat pelestarian Mangrove.

Hasil survei Conservation International Indonesia (CII) pada 2001 menemukan 262 jenis terumbu karang di kawasan ini, 596 jenis ikan, dan 555 jenis moluska serta jenis langka lainnya seperti kima raksasa (tridacna gigas), penyu hijau (chelonia mygas), penyu sisik (eretmochelys imbriocata), lola (Trochus niloticus), dugong-dugong, dan paus pilot. Dari banyaknya jenis ikan itu, ada dua jenis yang dianggap endemik, yaitu ikan Paracheilinus togeanensis dan Ecsenius., artinya hanya ditemukan hidup di Togian.
Banyaknya ikan dan moluska tersebut mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di perairan laut Togean masih bagus dan rimbun, sehingga menjadi pilihan menarik bagi banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia untuk melakukan diving dan snorkling.

Pada 1998 lalu tercatat lebih 7.000 wisatawan asing berkunjung ke Togean, namun menyusut drastis setelah pecah konflik bernuansa SARA di wilayah tetangga Kabupaten Poso pertengahan 2000.

Beruntung membaiknya situasi keamanan di sana kurun setahun terakhir, membuat arus wisatawan asing ke objek wisata ini kembali mengalir sekalipun belum seramai seperti sebelumnya.

Para wisatawan terlihat banyak menghabiskan waktu di sini untuk berjemur diri sekaligus menikmati ketenangan laut serta pemandangan alam terbuka yang menyejukkan, sebelum menuju ke titik-titik penyelaman menarik yang mencapai puluhan.

Pada beberapa pulau di Togian, terdapat hotel, penginapan, dan cottage dalam bentuk rumah panggung yang disediakan sejumlah pengusaha lokal dan asing (Italia), guna memudahkan para wisatawan menikmati berbagai aktivitas menyenangkan. Tarif sewanya pun bervariasi, antara Rp 150 ribu hingga Rp 400 ribu per hari.

Salah satu yang bisa direkomendasikan adalah Black Marlin Cottage, yang dikelola oleh Ais, seorang penduduk setempat. Black Marlin terletak di Pulau Kadidiri, salah satu bagian dari gugusan Kepulauan Togian. Dia juga punya Dive Center bernama sama yang dikelola oleh seorang instruktur selam asing.

Kepulauan Togian mempunyai berbagai jenis terumbu karang yang sangat indah. CI Indonesia, tercatat sekitar 262 jenis karang yang tergolong ke dalam 19 famili. Salah satunya adalah jenis endemik, yaitu Acropora togeanensis.

Dari total 91 jenis Acropora yang ditemukan di Indonesia (yang juga merupakan tertinggi di dunia), 78 di antaranya terdapat di Kepulauan Togean. Secara umum kondisi terumbu karang di 25 lokasi di Kepulauan Togean adalah 4 persen dalam kondisi Sangat Bagus (excellent), 16 persen bagus (good), 40 persen dalam konsisi sedang (moderate), 28 persen jelek (poor) dan 12 persen dalam kondisi jelek sekali (very poor).
Tentu saja, Togian adalah surga bagi para penyelam. Tengok saja titik-titik penyelaman yang sudah kesohor di sana .

Salah satu titik penyelaman yang ramai adalah tempat jatunya pesawat pembon milik Belanda, B-24 Liberator. Pesawat itu terletak di kedalaman 16-22 meter dan dapat dicapai 1 jam saja dengan speed boat dari Kadidiri. Pesawat itu jatuh pada 3 Mei 1945 saat perjalanan pulang dari Makassar, Sulawesi Selatan setelah diserang oleh tentara Jepang.

Soal makanan jangan bingung. Segala yang berbau seafood ada di sini. Ikan bakar rica-rica atau cumi-cumi goreng selalu tersedia. Bisa pula kepiting kenari. Jika ingin lebih terasa petualangannya boleh memancing dan membakar sendiri ikan pancingannya. Atau bisa membeli dari nelayan hanya seharga Rp 15 ribu per kilogram.

Menuju Togian
Untuk mencapai Kepulauan Togian yang berada di tengah Teluk Tomini, dapat ditempuh melalui beberapa pintu masuk, antara lain Kota Palu kemudian menuju Ampana meliwati jalan darat 350 km, melewati Poso atau dari Luwuk (ibu kota Kabupaten Banggai yang berada di timur Provinsi Sulteng), dan Gorontalo dengan menggunakan pesawat udara.

Dari kota-kota ini, lalu kemudian menumpang kapal motor penyebrangan menuju Wakai (salah satu ibu kota kecamatan di Kepulauan Togean yang sering dijadikan ‘base camp’ wisatawan sebelum menuju spot-spot diving serta cottage di pulau-pulau kecil). Sewanya cuma Rp 23 ribu dengan KMP Tuna Tomini, kapal feri milik Dinas Perhubungan. Atau dengan menggunakan kapal-motor pelayaran rakyat atau kapal pesiar cepat seperti KM Lumba Lumba atau Baracuda dengan harga sewa yang sama.

Jarak tempuh perjalanan laut ini antara 1,5-4 jam, tergantung kendaraan laut yang dipergunakan.

Hitung-hitungan bagi wisatawan lokal, cukup murah. Dari Kota Palu ke Pulau Togean dapat menggunakan minibus dengan tarif Rp 40 ribu. Dengan mobil travel Rp 100 ribu, selama 7-8 jam sampai ke Ampana, melewati Kabupaten Parigi Moutong dan Poso. Dari Ampana menggunakan kapal motor selama 4 jam ke Wakai dengan tarif Rp 30 ribu - Rp 40 ribu. Dari Wakai sekitar 15 menit - 30 menit ke Kadidiri, Togian, dengan speed boat. Di Black Marlin Cottage di Kadidiri, Togian, rate untuk 1 malam untuk kamar standard Rp 120 ribu. Untuk yang deluxe Rp 150 ribu, sudah termasuk makan 3 kali sehari.

Dari Jakarta ke Palu, bisa memilih Lion Air, Wings Air, Sriwijawa Air, Merpati atau Batavia Air, lalu transit di Makassar, Sulawesi Selatan atau Balikpapan , Kalimantan Timur dan selanjutnya menuju Bandara Mutiara Palu. Dari Jakarta ke Makassar atau Balikpapan hanya 2 jam, lalu dari kedua kota itu ke Palu hanya memakan waktu paling lama 50 menit. Setelah itu barulah melanjutkan perjalanan ke Togian, melewati Parigi Moutong, Poso, Ampana hingga ke Wakai.

Agar tidak terlalu lelah, kita juga disarankan untuk bermalam semalam di Ampana atau Wakai. Kita bisa menikmati ikan bakar rica-rica dan beragam penganan dari hasil laut lainnya di sana . Harganya paling mahal Rp 20 ribu per porsi. Hitung-hitung menikmati makanan selamat datang.

Di Wakai, kita bisa menginap di rumah-rumah penduduk atau di cottage transit. Kita bisa melihat perkampungan asli suku laut Togian di sana . Kita akan melihat bagaimana mereka membangun rumah-rumah di atas aliran air laut atau payau.

Jadi rasa-rasanya, begitu murah. Berbeda dengan daerah-daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia yang membutuhkan uang tidak sedikit.

Perjalanan dengan menggunakan kapal motor atau speed boat atau bisa pula perahu nelayan, juga memberikan pengalaman petualangan tersendiri. Kita bisa menikmati perasaan gamang dihantam gelombang. Karena meski takut, yakinlah kapal atau perahu yang kita tumpangi akan selamat sampai di tujuan. Sebab para nahkoda kapal atau nelayan paham benar irama alamnya. Kalau alam sedang tidak bersahabat, mereka tidak akan mungkin melayarkan kapal atau perahunya.

Pemkab Tojo-Unauna sendiri saat ini sudah berencana membangun bandara di Ampana untuk memudahkan akses para wisatawan asing dan domestik masuk ke Togian. Pembangunan bandara tersebut direncanakan selesai akhir tahun 2009.

Pemerintah daerah setempat juga berkeinginan menyediakan pesawat baling-baling yang bisa mendarat di atas air, agar lebih memudahkan para wisatawan bisa langsung ke Togean melalui bandara di kota-kota terdekat.

Festival Togian
Untuk mempromosikan Togian, Pemkab setempat sudah berencana menggelar Festival Togian pada 23-27 Juli mendatang.

“Sejumlah kelompok wisata mancanegara dan domestik mengagendakan kunjungannya pada Juli mendatang, dan biro-biro pariwisata pun terus mempromosikan agenda ini ke mancanegara. Karena itu saya pikir ketika berlangsung festival akan banyak turis asing yang datang,” Bupati Damsyik.

Festival Togean merupakan ajang tahunan yang digelar Pemkab Tojo-Unauna berisi berbagai kegiatan seni-budaya, olahraga tradisional, dan atraksi lainnya. Pesertanya berasal dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Sulteng, selain perwakilan asal provinsi tetangga.

“Bahkan, wisatawan asing pun bisa ikut menjadi peserta untuk memeriahkan festival ini, seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.

Sebagai informasi tambahan, bagi yang ingin tetap berkomunikasi, di sana hanya produk komunikasi seluler Indosatlah yang bisa dipakai. Mulai dari IM3, Mentari sampai Matrix.

Hutan Wisata Danau Lindu

Hutan Wisata Danau Lindu termasuk dalam kategori wilayah Enclave Lindu dan termasuk bagian dari Wilayah Kecamatan Kulawi yang secara Geografis terletak di dalam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, oleh karena itu semua desa di wilayah ini berbatasan langsung dengan TNLL. Wilayah yang sering disebut Dataran Lindu ini dikelilingi oleh punggung pegunungan sehingga sulit untuk dijangkau oleh kendaraan bermotor, memiliki 4 ( empat ) desa yaitu desa Puroo, Desa Langko, desa Tomado dan desa Anca. Ke-empat desa ini terletak di tepi danau Lindu yang cukup terkenal keindahannya.

Di wilayah yang berpenduduk dengan luas wilayah ini juga terkenal dengan Laboratorium untuk pemeriksaan penyakit yang disebabkan oleh sejenis cacing Schistosomiasis yang hanya bisa hidup melalui perantaraan sejenis keong endemik yang juga hanya hidup dibeberapa tempat di dunia. Danau Lindu dimasukkan ke dalam kelas danau tektonik yang terbentuk selama era Pliocene setelah bak besar dilokalisasi dari sebuah bagian rangkaian pegunungan. Merupakan danau terbesar kedelapan di Sulawesi dari segi wilayah maksimal permukaannya. Danau ini biasa dikatakan melingkupi sekitar 3.488 ha.

Pada ketinggian sekitar 1.000 m danau ini merupakan badan air terbesar ke-dua dari pulau ini (yang lebih kecil, Danau Dano hanya 50 m lebih tinggi). Daya tarik Hutan Wisata Danau Lindu adalah Keindahan panorama pegunungan dan pemandangan danau, khususnya bagi wisatawan pejalan kaki dan pendaki gunung. Danau Lindu terkenal dengan melimpahnya ikan dan merupakan habitat bagi berbagai macam tumbuhan dan hewan yang kini mulai berkurang keanekaragamannya karena menurunya populasi species serta hilangnya beberapa spesies Seperti Burung Tokoku dan Tanaman Rano.

Gema pelestarian lingkungan membahana kemana-mana. Namun di Dataran Lindu, sebuah pelosok sekitar 120 kilometer ke timur Sulawesi Tengah atau di sekitar kawasan Danau Lindu, masyarakatnya sudah memiliki tradisi untuk menjaga lingkungannya.
Kamis (5/6/2008) lalu, sebuah kegiatan adat yang difasilitasi The Nature Conservancy (TNC) digelar dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut. Kegiatan bernama Kapotia Nulibu Ada atau permusyawaratan adat itu menghadirkan para tetua adat. Pokok bahasannya adalah bagaimana menjaga lingkungan dengan menegakkan hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Ketua-ketua adat dari empat desa yang masuk dalam kawasan tersebut duduk bersila dipimpin seorang tetua yang membawahi ketua-ketua adat dari empat desa tersebut. Mereka mendiskusikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap individu dalam kaitan interaksi sosial dan lingkungannya. Tak hanya itu, sanksi-sanksinya juga ikut ditetapkan.

Mereka saling berbagi dan kerapkali harus berdebat untuk mencapai sebuah kesepakatan
yang nantinya akan menjadi pedoman hubungan sesama manusia dan kepada lingkungan. Salah satu poinnya adalah, barangsiapa yang ditemukan menebang pohon akan dikenakan sanksi berupa gant rugi satu ekor kerbau. Kesepakatan lainnya, siapa yang ditemukan menangkap ikan di Danau Lindu ketika sedang dalam masa umbo (moratorium penangkapan) juga akan didenda satu ekor kerbau.

Tak sekadar membuat kesepakatan, kesepahaman itu disakralkan dengan menyembelih seekor kerbau hitam yang darahnya akan digunakan sebagai tinta untuk cap jempol lima jari pada kain putih. Semua pemuka adat harus melakukan cap jempol sebagai tanda persetujuan penegakan hukum adat. Siapapun yang melanggar akan disanksi sesuai kesepakatan itu.

Daging kerbau yang telah disembelih dimasak ramai-ramai yang kemudian disajikan untuk dinikmati secara bersama-sama. Ketegangan, kerisauan dan bahkan kecemasan dalam proses pencapaian kesepakatan, hilang dengan serta merta ketika sajian makanan dihamparkan oleh putri-putri warga setempat.(p!)



Gadis Lindu melayani para tetua adat yang sedang mencari kesepakatan.


Pembahasan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.


Setelah kesepakatan tercapai.


Seekor kerbau dipotong menandai tercapainya kesepakatan.


Cap jempol lima jari yang sudah dilumuri darah kerbau sebagai tanda persetujuan atas kesepakatan.


Beramai-ramai mempersiapkan hidangan daging kerbau.


Makan bersama, ketegangan pun sirna.


TAMAN NASIONAL LORE LINDU

Keadaan Umum Taman Nasional Lore Lindu Letak (geografis & administratif); luas, status (kawasan dan pengelolaan) serta batas kawasan.
  • Letak kawasan
    Secara geografis pada posisi 119°58’–120° 16’ BT dan 1°8’–1°3’ LS. Secara administratif terletak dalam 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu sebagian besar di Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di Kabupaten Poso, terbagi dalam 6 kecamatan yaitu: Kecamatan Kulawi, Sigibiromaru, Palolo di Kabupaten Donggala dan Kecamatan Lore Utara, Lore Selatan, Lore
    Tengah di Kabupaten Poso.

  • Luas kawasan

    1. Surat Menteri Pertanian No. 736/Menteri/X/1992 tanggal 14 Oktober 1982 luas kawasan Taman Nasional Lore Lindu adalah 231.000 ha.

    2. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993 luas kawasan Taman Nasional Lore Lindu adalah 229.000 ha.

    3. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999 tanggal 23 Juni 1999, Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan dengan luas kawasan 217.991,18 ha, luas inilah yang menjadi dasar pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu saat ini.
  • Status kawasan dan status pengelolaannya
    1. Status kawasan Taman Nasional Lore Lindu telah dikukuhkan pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 464/Kpts-II/1999.

    2. Status Pengelolaannya, di kelola oleh Balai Taman Nasional Lore Lindu sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 tentang organisasi dan tata kerja Balai Taman Nasional dan Unit Taman Nasional.

  • Batas Kawasan

    1. Dibagian utara dibatasi oleh Dataran Palolo, sebelah timur oleh dataran Napu, sebelah selatan Dataran Bada, dan sebelah barat oleh sungai Lairiang dan hulu sungai Palu (lembah Kulawi).

    2. Telah ditata batas ketemu gelang oleh Sub BIPHUT Palu.

Keadaan kawasan (topografi, geologi, jenis tanah, iklim, suhu, curah hujan (rata-rata musim kemarau dan hujan); hidrologi, kelembaban udara.

  • Topografi
    Taman Nasional Lore Lindu berada pada ketinggian 200-2610 meter di atas permukaan laut, puncak tertinggi adalah Gunung Nokilalaki (2355 m) dan gunung Tokosa/Rorekatimbu (2610 m). Bentuk topografi bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam, curam, hingga sangat curam.

  • Geologi
    Taman Nasional Lore Lindu terletak antara dua patahan utama di Sulawesi Tengah. Pada daerah pegunungan, umumnya berasal dari batuan asam seperti Gneisses, Schists dan granit, punya sifat peka terhadap erosi.
    Formasi lakustrin banyak ditemukan di bagian Timur Taman Nasional, umunya dataran danau yang datar atau berawan. Bahan endapan dari campuran batuan sediment, metamorfosa dan granit.Bagian barat ditemukan formasi alivium yang umumnya berbentuk kipas aluvial/koluvial atau dataran hasil deposisi sungai seperti teras atau rawa belakang. Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metaforfosa dan granit.

  • Tanah
    Keadaan tanah di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari yang belum berkembang (entisol); sedang berkembang (inseptisol) sampai sudah berkembang (alfisol) dan sebagian kecil ultisol.

  • Iklim, Suhu, Curah Hujan, kelembaban
    Bagian utara kawasan Taman Nasional Lore Lindu mempunyai tipe iklim C/D (musiman) dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm/tahun. Bagian Timur kawasan Taman Nasional Lore Lindu punya tipe iklim B (agak musiman) dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm/tahun. Bagian barat Taman Nasional Lore Lindu punya tipe iklim A (lembab permanen) dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1200-2200 mm/tahun.

    Secara keseluruhan curah hujan di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari 2000-3000 mm/tahun di bagian utara dan 3000-4000 mm/tahun di bagian Selatan.
    Suhu/temperatur berkisar antara 22-340 C, rata-rata kelembaban udara 98 % dengan kecepatan angin rata-rata 3,6 km/jam.

  • Hidrologi
    Taman Nasional Lore Lindu mempunyai fungsi tangkapan air yang besar, didukung oleh dua sungai besar yaitu sungai Gumbasa di bagian utara yang bergabung dengan sungai Palu di bagian barat serta sungai Lariang di bagian Timur, selatan, dan baratnya. Fungsi hidrologis ini sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar kawasan dan Sulawesi Tengah umumnya.

  • Aksesibilitas
    Dapat dicapai melalui jalur darat dari kota Palu. Lokasi yang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat adalah Palu-Seksi Konservasi Wilayah I Kulawi, Palu-Seksi Konservasi Wilayah II Kamarora, Palu-Seksi Konservasi Wilayah III Wuasa, ada beberapa resort yang hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki/naik kuda yaitu jalur Gimpu-Bada, Bada-Doda dan Rahmat-Dataran Lindu.

Ekosistem, Vegetasi, Flora dan Fauna

  • Ekosistem
    Ada dua ekosistem utama di Taman Nasional Lore Lindu yaitu:

    1. Ekosistem hutan hujan dataran rendah

    2. Ekosistem hutan hujan pegunungan.

    Di samping kedua ekosistem utama, juga terdapat 2 sub-zone, yaitu:

    1. Sub zone hutan hujan pegunungan yang merupakan transisi antara ekosistem hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan.

    2. Sub-zone alpin hutan pegunungan merupakan transisi antara hutan pegunungan dan hutan alpin.
  • Vegetasi, Flora
    1. Vegetasi hutan hujan dataran rendah
      Komposisi floranya lebih beragam. Flora yang ditemukan antara lain: Pawa (Mussaendopsis beccariana); Tahiti (Dysoxylum sp.); Nunu (Ficus sp.); ngkera dan lawedaru (Myristica spp.); Mpora dan Mpire (Caryota spp.); Saguer (Arenga pinnata); Take (Arenga sp.); uru ranto (Elmerilia ovalis); Luluna (Strychnos axillaris); Palaku (Celtis sp.); Ntorade (Pterospermum subpeltatum); Ndolia (Canangium odoratum); tea here (Artocarpus elasticus); tea uru (Artocarpus teijmannii); duria (Durio zibethinus); Wara dilameo (P. hirsuta); bambu
      pemanjat (Dinochloa scandens); Elastostema, Costus, Cyrtandra, Nephrolepis, Neuburgia.

    2. Vegetasi hutan hujan pegunungan
      Flora yang ditemukan antara lain: Kaha (Castanopsis argentea); Palili bahe, palili nete, palili pance (Lithocarpus spp.). Agathis philippinensis, Podocarpus neriifolia, Podocarpus imbricatus, Taxus baccatus, Dacrydium falcifolia, Phyllocladus hypophyllus, Tristania whiteana dan Tristania sp., Calophyllum spp., Garcinia spp., Tetractonia haltumi, Polyosma integrifolia dan Gynotraches axillaris, Coelogyne, Thelasis, Appendicula, Glomera, Phreatia, Elastostema, Cyrtandra, Goniophlebium persicifolium, Oleandra neliiformis, Diplazium bantamense.

    3. Vegetasi sub hutan hujan pegunungan
      Flora yang ditemukan: kelompok uru (Magnoliaceae); uru ranto (Elmerillia ovalis); uru tomu (Elmerillia sp.); Elmerillia celebica, Manglietia glauca, Talauma liliiflora, konore (Adinandra sp.); pangkula, ntangoro (Ternstroemia spp.); kauntara (Meliosma nitida); kau tumpu (Turpinia sphaerocarpa); mpo maria (Engelhardtia serrata).

    4. Vegetasi Sub Hutan Alpin
      Flora yang ditemukan: Leptospermum, Rapanea, Myrsine, Phyllocladus hyphophyllus, Eugenia sp., paku pohon (Alsophylla sp.); jenis palem (Pinanga)

  • Fauna

    1. Mamalia besar
      Anoa atau kerbau kerdil, satwa endemik Sulawesi. Nama daerah: sapi utan, anoang, kerbau pendek, dangko, Bondago tutu, buulu, tutu dan sako.
      Dua jenis anoa di Taman Nasional Lore Lindu yaitu anoa Quarlesi dan anoa deoressicornis. Babi rusa (Babyrousa babyrusa); babai Sulawesi (Sus celebensis); Macaca tonkeana, Phalanger ursinus, kus-kus sulawesi (P. celebencis); Tarsius Sulawesi (Tarsius spectrum); Rusa (Cervus timorensis).

    2. Burung
      Sekitar 263 jenis burung ditemukan di Sulawesi, 30 % diantaranya merupakan endemik, 66 jenis dari burung endemik ini ditemukan di Taman Nasional Lore Lindu. Jenis burung antara lain Nuri Sulawesi (Tanygnatus sumatrana); Loriculus exilis, Trichologssus platurus, Cacatua sulphurea, Rangkong (Buceros rhinoceros dan Aceros cassidix); Pecuk ular (Anhinga rufa); Rallus plateni, Scolopax celebencis, Tyto inexspectata, Geomalia heinrichi, Macrocephalon maleo, Megapodius frecycynent.

    3. Reptil
      Ular pyton (Phyton reticulatus); ulara Racers (Elaphe erythrura, Gonyosonia janseni, Mack viver (Psammodymaster pulverulenthus dan Xemopeltis unicolor); king cobra (Ophiophagus hannah)

Keadaan penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu

Taman Nasional Lore Lindu secara fisik berbatasan langsung dengan + 61 desa yang tersebar dalam 6 kecamatan di 2 kabupaten yaitu sebagai berkut:

  • Di dalam kawasan di luar enclave : Katu; di enclave di luar kawasan : (1) lembah Besoa: desa-desa Doda, Bariri, Lempe dan Hanggira serta desa translok Baliura. (2) lembah Lindu : desa-desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca.

  • Di luar Taman Nasional Lore Lindu tapi sangat mepet sekali dengan batas fisik Taman Nasional Lore Lindu ada 51 desa dalam 6 Kecamatan yaitu dari timur putar searah jarum jam : Kec. Lore Utara, Lore Tengah, Lore Selatan (ketiga Kec. ini di Kab Poso); Kec Kulawi, Kec. Sigibiromaru, dan Kec Palolo (ketiga Kec.ini di Kab Donggala).

  • Penduduk
    Berdasarkan data yang ada, jumlah penduduk dari 6 (enam) wilayah kecamatan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu adalah 68.377 jiwa dari 16.600 KK.

PARIWISATA SULTENG

Dewasa ini, banyak masyarakat daerah yang belum mengenal dengan baik daerahnya sendiri. Mereka haya tinggal dan bermukim di suatu daerah selama bertahun-tahun,namun melupakan akan potensi daerahnya. Hal itu juga yang menyebabkan timbulnya ketidakpedulian terhadap daerah sendiri. Disini, kami mencoba mengenalkan Pariwisata Sulawesi Tengah.
Pariwisata di Sulteng merupakan sektor yang masih dapat dikembangkan lebih baik. Daerah ini memiliki potensi wisata yang beragam, baik wisata alam, wisata bahari, agrowisata, maupun wisata budaya.

Obyek wisata yang punya peluang untuk dikembangkan lebih maju antara lain obyek pemandangan alam dengan setting pegunungan, hutan primer/hutan wisata, taman nasional, batuan megalitik, tempat-tempat yang memiliki latar belakang sejarah, serta keaneka-ragaman tradisi, seni, dan budaya lokal yang unik dan menarik.

Semua obyek wisata alam di Sulteng, baik yang berlokasi di gunung, hutan, maupun laut, relatif masih perawan dan indah sekali. Tentu saja semua itu harus ditunjang dengan tersedia dan terselenggaranya atraksi hiburan, makanan, dan transportasi yang memadai, baik bagi turis domestik, maupun wisatawan mancanegara. Hal yang disebutkan terakhir itu belum digarap secara padu oleh perusahaan jasa industri pariwisata di Sulsel.

Berkaitan dengan itu, dapat diketahui bahwa jumlah hotel di Sulteng pada 1998 ada 166 buah (hotel berbintang dan melati); dengan kapasitas kamar 2.143 kamar dan 3.871 tempat tidur. Jumlah wisatawan asing dan domestik tidak diperlihatkan oleh data yang ada.